TI dan Masa Depan Dunia Kerja


TI dan Masa Depan Dunia Kerja Globalisasi yang digerakkan oleh perekonomian neoliberalisme sekarang ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan dunia industri sebelum era Internet. Teknologi Informasi (TI) telah menjadi semacam penggerak yang dinamis yang mampu menorehkan perubahan di luar dugaan manusia.Globalisasi dan TI, seperti kata Michael Mandel, bersama-sama menciptakan potensi perubahan cara dan tempat kita bekerja secara mengejutkan. Mandel mencontohkan, alih kerja ke luar negeri, paling tidak, berarti pekerjaan dapat dipecah-pecah menjadi tugas-tugas yang lebih kecil dan dibagi-bagi ke seluruh dunia. Dan pesatnya pertumbuhan saluran-saluran komunikasi yang lebih luas dan kuat-termasuk dunia virtual-telah mengubah definisi kerja.Di era sekarang, masa depan dunia kerja ditentukan oleh kreativitas, fleksibilitas, dan individualisme. Struktur dan jam kerja tak lagi jadi penentu.Mereka menambahkan, organisasi-organisasi pada masa depan harus beradaptasi dengan pegawai, bukan sebaliknya. Ketika era industri sistem ka-pitalisme begitu kuat mencengkeram manusia dalam jejaring “penindasan“ teknologi, sekarang TI lebih familiar, bahkan terkesan membebaskan manusia untuk menjadi otonom dari struktur itu.
Manusia memiliki ruang kebebasan dalam kerja. Ukuran sukses seorang pekerja bukan lagi pada loyalitas kepada bos atau perusahaan, melainkan karena kreativitas dan individualitas manusia. Keduanya sama-sama membutuhkan ruang bebas kreasi, yakni fleksibilitas. Karena itu, jangan heran jika kemudian aturan perusahaan di era industri sudah semakin usang di era pasca-industri, alias era teknologi informasi.Kreativitas dalam dunia TI tidak identik dengan kemampuan mengembangkan perangkat lunak atau perangkat keras. Jangan berpikir bahwa dunia kerja dalam urusan TI semata-mata urusan komputer. Sebagai perangkat pembantu, TI hanyalah bagian dari aspek pemaksimalan kemajuan manusia. Kata kunci kemajuan tetap terletak pada manusia itu sendiri. Beberapa FaktaTiga tahun silam, BusinessWeek berhasil mengumpulkan data dari berbagai lembaga riset berkaitan dengan perubahan revolusioner dalam dunia kerja dengan tujuh hal berikut ini. Pertama, dalam bidang telekomunikasi, lebih dari 41 juta orang menggunakan perangkat lunak Skype untuk berbagi kapabilitas pengolahan dan bandwidth, sehingga memungkinkan mereka saling menelepon secara gratis melalui Internet.Dampaknya, pendapatan korporasi besar perusahaan AT & T dan MCI pada tahun 2005 turun 15% atau US$ 7,4 miliar. Kedua, dalam bidang perangkat lunak, dengan mengoordinasikan berbagai upaya secara tersambung (online), para programmer di seluruh dunia bekerja secara sukarela di lebih 10.000 proyek standar terbuka seperti Linux, yang menimbulkan tantangan bagi perangkat lunak biasa. Sekitar 52% perusahaan dalam suvei belum lama ini mengganti server berbasis Microsoft Windows dengan Linux. Ketiga, ritel; sebanyak 61 juta anggota aktif eBay telah menciptakan perekonomian baru dari barang-barang yang dulu hanya tersedia di toko antik dan acara cuci gudang.Dengan upaya saling memeringkatkan di kebanyakan transaksi, mereka telah membangun alternatif swadaya bagi toko ritel dan membuat eBay bernilai US$ 52 miliar. Keempat, keuangan: perusahaan manajemen investasi Marketocracy Inc. menjalankan semacam pasar maya untuk 70.000 pedagang saham virtual, menggunakan 100 portofolio teratas untuk menentukan pilihan saham bagi reksa dananya yang bernilai US$ 60 juta. Setelah memimpin pasar dua tahun, pasar maya ini tertinggal dari S&P5000 pada tahun 2004. Kelima, hiburan; terlepas dari adanya gugatan hukum dari perusahaan rekaman dan studio film, setidaknya 100 juta orang terus berbagi musik secara tersambung. Saat ini, ada sekitar 1 miliar lagu yang berkasnya tersedia untuk dibagi. Keenam, media; kebalikan dari model siaran tradisional, lebih dari 53 juta orang Amerika telah menyumbangkan materi ke Internet, seperti ulasan produk dan blog. Setidaknya terdapat 10 juta blog (35 juta blog pada tahun 2008) yang sebagian menarik pengunjung lebih banyak daripada situs berita biasa. Ketujuh, iklan; mesin pencari Google seketika mengumpulkan jutaan orang dan pebisnis yang situsnya saling terkait, sehingga menghasilkan lahan iklan yang sama sekali baru dengan nilai kotor mencapai US$ 32 miliar tahun 2004 atau naik 118%. Kenaikan yang sangat spektakuler jika dibanding dengan kenaikan iklan sebasar 8% di TV dan 5% di surat kabar serta majalah.Kegagapan KitaBagaimana dengan kenyataan di Indonesia? Apa yang kita rasakan dengan perubahan gerak zaman yang begitu revolusioner tersebut? Di Indonesia, fenomena Teknologi Informasi (TI) sudah menjadi berita sehari-hari di layar kaca maupun media cetak.Internet sudah bukan barang asing di negeri ini.Namun janganlah cepat bangga. Mayoritas rakyat hanya tahu istilah Internet dan bukan sebagai pengguna. Minoritas pengguna, sejumlah 18 juta adalah pemakai Internet. Delapan juta adalah para karyawan yang memanfaatkan saluran Internet melalui kantor tempat mereka bekerja. Sementara itu, 10 juta di antaranya adalah pengguna layanan warnet. Sisanya adalah pemakai Internet aktif berlangganan pribadi. Dengan hitungan ini saja pikiran kita sudah menyimpulkan dengan pasti; Negeri ini tergolong gagap teknologi. Karena itu jangan heran jika Direktur Kebijakan Perangkat Lunak BSA untuk Asia, Goh Seow Hiong, memaparkan hasil riset yang dilakukan pada November 2006-Juli 2007 menyimpulkan, bahwa dalam urusan daya saing penerapan TI, Indonesia berada di urutan ke-57 di seluruh dunia dengan skor indeks keseluruhan Indonesia mencapai 23,7. Bidang yang paling lemah untuk Indonesia adalah infrastruktur TI.Di bidang ini, Indonesia berada di urutan paling rendah di antara semua negara (urutan ke-64), meliputi belanja perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan TI, kepemilikan desktop dan laptop, koneksi pita lebar dan server Internet yang aman berdasarkan hitungan per kapita. Negara-negara anggota ASEAN seperti Vietnam berada di urutan ke-60 (skor 0,6), Filipina di urutan ke-55 (skor 2,2), Thailand ke-49 (skor 6,4), Malaysia di urutan ke-33 (skor 16,5) dan Singapura di urutan ke-12 (skor 58,8).Kenyataan di atas membuktikan bahwa bidang industri konvensional masih sangat dominan di Indonesia. Kalaupun berbagai perusahaan sudah terintegrasi dengan TI, sifatnya sebagainya pemanfaatan yang biasa. Belum terlihat tanda-tanda yang berarti bahwa SDM di Indonesia bersaing kuat mengejar ketertinggalan dengan negara-negara dunia maju.